Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), yang ditetapkan PBB, pada 10 Desember 1948, pernah dikaji secara khusus oleh ulama terkenal Prof. Dr. Hamka. Berikut ini petikan pendapat Hamka terhadap DUHAM, sebagaimana ditulis dalam sebuah artikel panjang berjudul ”Perbandingan Antara Hak-hak Asasi Manusia Deklarasi PBB dan Islam”.
Setelah membaca pasal-pasal dalam DUHAM, Hamka sampai pada kesimpulan bahwa semua pasal itu enak buat dibaca, meskipun anggota-anggota PBB itu sendiri masih banyak yang belum menjalankannya. ”Tetapi ayat 1 dari pasal 16 dan pasal 18 tidak bisa saya terima,” tulis penulis Tafsir al-Azhar ini.
Selanjutnya, Hamka menjelaskan sikapnya: ”Sebab apa saya tidak dapat menerimanya? Sebab saya orang Islam. Yang menyebabkan saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah Islam statistik. Saya seorang Islam yang sadar, dan Islam saya pelajari dari sumbernya: al-Qur’an dan al-Hadis. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam, tetapi syari’atnya tidak saya jalankan atau saya bekukan.”
Pasal 16 ayat 1 DUHAM berbunyi: Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian.
Menurut Hamka, dalam Syari’at Islam, pembatasan karena suku dan kebangsaan tidak ada. Oleh karena itu hal ini sangat sesuai dengan Syari’at Islam. Sebab apabila orang telah sama kepercayaannya dalam Islam, tergabunglah dia menjadi satu umat, yaitu umat Islam. Asal ada persesuaian kedua belah pihak, dan halal kawin menurut agama, karena tidak ada pelanggaran kepada ketentuan mendirikan rumah tangga. ”Tetapi tentang agama, mesti ada pembatasan,” tegasnya.
Pembatasan itu ditentukan oleh al-Qur’an dan al-Hadits. “Seorang laki-laki pezina tidaklah boleh mengawini kecuali perempuan yang pezina pula atau perempuan musyrik. Dan seorang perempuan Dan seorang perempuan pezina tidaklah boleh dinikahinya, kecuali laki-laki pezina atau musyrik, dan haram yang demikian itu atas orang-orang beriman” (QS. 24:3).
Juga dalam Surat al-Maidah ayat 51, dijelaskan lagi: “Barangsiapa yang berpihak kepada mereka dari kalangan kamu, Maka dia itu telah termasuk golongan mereka.” “Tegasnya di sini bahwa Muslim yang sejati, yang dikendalikan oleh imannya, kalau hendak mendirikan rumah tangga hendaklah dijaga kesucian budi dan kesucian kepercayaan. Orang pezina jodohnya hanya pezina pula, orang musyrik, yaitu orang yang mempersekutukan yang lain dengan Tuhan Allah, jodohnya hanya sama-sama musyrik pula. Di ujung ayat ditegaskan bahwa perkawinan di antara orang yang beriman dengan orang yang musyrik atau kafir adalah haram.”
Umar bin Khatab, Khalifah ketiga mengeluarkan ketentuan: “Laki-laki Muslim boleh kawin dengan perempuan Nasrani, tetapi laki-laki Nasrani tidak boleh kawin dengan perempuan Islam.” Jabir bin Abdullah, seorang sahabat Anshar, mengatakan: “Perempuan Ahlul-Kitab halal bagi kita, dan perempuan kita haram atas mereka.” .
Meskipun laki-laki Muslim diperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), tetapi menurut Hamka, penguasa Islam berhak juga campur tangan. Seorang sahabat Nabi saw, Huzaifah bin Yaman, yang tinggal di Kaufah, menikah dengan perempuan Yahudi. Setelah perkawinan ini didengar oleh Khalifah Umar, maka segera datang perintah beliau kepada Huzaifah: “Ceraikan perempuan itu! Dia adalah laksana batu api neraka buat kamu!” Lalu Huzaifah bertanya: “Apakah itu berarti haram?” Umar menjawab: ”Haram tidak, tetapi aku takut yang engkau kawini itu perempuan lacur (Mumisat).”
Di satu riwayat lagi tersebut jawaban Umar: “Aku takut akan dikatakan oleh orang-orang yang jahil, bahwa seorang sahabat Rasulullah Saw telah kawin dengan seorang perempuan kafir, sedang engkau tinggal di negeri Majusi (Penyembah api).”
Bahkan, sahabat Rasulullah saw sendiri, yaitu Abdullah bin Umar, berpendapat bahwa Ahlul Kitab pun pada hakekatnya juga termasuk orang musyrik. Berpegang pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221, ia melarang orang mukmin kawin dengan perempuan musyrik. Kata Ibnu Umar, ”Saya tidak tahu lagi syirik yang lebih besar dari pada kata perempuan itu, bahwa Tuhannya ialah Isa.”
Pasal lain yang ditolak oleh Hamka adalah hak murtad, sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 DUHAM: “Setiap orang mempunyai hak untuk berikir, berperasaan dan beragama. Hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan kemerdekaan baik secara perseorangan maupun secara golongan, secara terbuka dan tertutup, untuk memperlihatkan agama dan kepercayaannya dengan mengerjakannya, mempraktekkannya, menyembahnya dan mengamalkannya.”
“Hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan. Kata-kata Kata-kata ini tidak dapat diterima oleh orang Islam, sebab sangat bertentangan dengan pokok dasar dan pegangan Agama Islam. Dalam Agama Islam, seorang yang meninggalkan Islam, sehingga tidak beragama sama sekali, atau pindah kepada agama lain murtad namanya,” tulis Hamka.
Ketua Majelis Ulama Indonesia pertama ini juga mengajak umat Islam agar memperhatikan QS. al-Baqarah ayat 217, “Dan mereka akan selalu memerangimu, sampai mereka dapat memalingkan kamu dari agama kamu, jika mereka bisa. Dan barangsiapa yang berpaling (murtad) di antara kamu daripada agamanya, lalu dia mati, padahal dia tetap kair, maka gugurlah amalan mereka di dunia dan di akhirat, dan mereka itu ialah ahli neraka, yang mereka kekal di dalamnya.”
Maka, tentang DUHAM pasal 18 tersebut, Hamka memberikan nasehat: “Bagi orang Islam menerima pasal 18 dari Hak-hak Azasi Manusia dengan tidak menghilangkan kalimat; Hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, berarti mereka telah turut dengan orang yang bukan Islam yang merencanakan Hak-hak Azasi Manusia ini, untuk meruntuhkan Islam dengan sengaja atau karena tidak tahu.”
0 komentar:
Posting Komentar