Kamis, 29 April 2010

0 Bahan Nabati

Melirik Bahan Bakar Nabati untuk Motor
Pengurangan emisi karbondioksida (CO2) dari sektor transportasi diprediksi masih sulit dilakukan. Ini lantaran begitu pesatnya pertumbuhan populasi otomotif dari sisi kebutuhan dan permintaan. Padahal, dalam persentase, emisi CO2 di dunia dari sektor transportasi yang menyebabkan pemanasan global mencapai 13,5 persen.

Untuk mengurangi emisi C02 dari sisi suplai, kecenderungan perkembangan teknologi (motor bakar) adalah konsumsi energi yang rendah, emisi rendah, dan performa yang maksimal. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan pengendalian proses pembakaran dengan teknologi tinggi dan sifat bahan bakar yang spesifik, ramah lingkungan, dan berkualitas.



Sementara, peran Indonesia dalam hal teknologi tinggi di bidang otomotif adalah pengguna yang sangat tergantung pada indutri prinsipal atau original equipment manufacturer. ''Tapi, dalam masalah bahan bakar kita mempunyai potensi tinggi, terutama bahan bakar alternatif baik baru maupun terbarukan yang sesuai dengan kebutuhan kecenderungan perkembangan motor bakar,'' ujar peneliti di Laboratorium Motor Bakar dan Sistem Propulsi Institut Teknologi Bandung (ITB), Iman K Reksowardojo dalam Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional IX, pekan lalu.

Menurut Iman, berbagai pilihan teknologi motor untuk menurunkan emisi C02 dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yakni konsep motor, bahan bakar alternatif, dan konsep selain teknologi motor. ''Dalam penggunaan bahan bakar alternatif, bahan bakar nabati berhasil menarik perhatian, rasa ingin tahu, dan menggairahkan dibanding yang lain,'' jelasnya.

Pasalnya, kata Iman, perubahan teknologi yang dibutuhkan tidak banyak, hampir semua bahan bakar nabati dapat dicampurkan dengan bahan bakar tradisional. ''Jadi kendaraan dan infrastruktur distribusi bahan bakar dapat menggunakan yang telah ada,'' cetusnya.

Namun demikian, ingat Iman, lahan yang digunakan untuk tanaman energi terbatas dan berpotensi terjadi konflik antara pasar makanan dan pasar bahan bakar. Lebih jauh dia menyatakan, bahan bakar nabati dapat menyebabkan konversi hutan menjadi tanah untuk tanaman energi yang mungkin akan merusak lingkungan secara permanen. ''Di lain pihak, bahan bakar gas, baik liquefied petroleum gas (LPG) dan compressed natural gas (CNG) sudah hadir bersamaan dengan bahan bakar tradisional lainnya,'' tegasnya.

Bahan bakar gas, kata Iman, walau merupakan bahan bakar fosil, akan mengemisikan CO2 lebih rendah dibanding dengan bahan bakar tradisional. Juga, penyesuaian teknologi yang diperlukan relatif sederhana dan terjangkau. ''Jadi, dengan harga yang rendah dan insentif pajak, bahan bakar gas merupakan alternatif yang tersedia untuk jangka pendek di masa depan. Tapi, ini memerlukan infrastruktur tambahan,'' ingatnya.

Sebelumnya, pendapat para pakar otomotif menyatakan bahwa motor bensin dan diesel masih akan mendominasi otomotif hingga beberapa dekade ke depan. Dr Klaus Draeger dari produsen mobil BMW menyatakan, perbaikan melalui 'pengecilan motor', muatan ruang bakar, dan injeksi langsung bahan bakar, memberi jalan dan potensi untuk menurunkan emisi di masa depan. Konvergensi antara konsep motor bensin dan diesel juga menjadi pilihan yang memungkinkan, sebagai konsep yang mengkombinasikan keuntungan kedua konsep teknologi tersebut.

Di sisi lain Iman mengaku efisiensi dari motor bahan bakar torak akan terus meningkat dengan majunya elektrifikasi dan hibridisasi. Motor listrik kecil akan digunakan untuk sisem start-stop, pengereman regeneratif, dan 'pembantu motor'. Dalam hal sistem hibrida penuh (full hybrids) karena biaya tinggi untuk perolehan emisi, maka perkembangan pasar akan rendah. ''Konsumen diprediksi tak bersedia membayar lebih untuk teknologi ini. Selain itu sistem hibrida penuh masih mempunyai kelemahan dalam penyimpanan energi,'' cetusnya.

Dengan melihat jauh ke depan, kata Iman, peran motor bakar torak akan digantikan oleh sel bahan bakar (fuel cell) dengan mengambil manfaat perkembangan komponen-komponen hibrida. '' Jadi ini akan mengurangi biaya perubahan dari satu konsep teknologi ke konsep teknologi lain, seperti halnya motor bakar torak ke hibrida,'' jelasnya.

Namun, Iman memprediksi dominasi sel bahan bakar masih belum terjadi dekade ke depan, meski sel bahan bakar akan diintroduksi pada pertengahan periode berikutnya. ''Masih dibutuhkan beberapa tahun untuk dapat diterima sepenuhnya oleh konsumen, bukan hanya soal harga, tapi fungsi juga harus atraktif. Selain itu, juga membutuhkan infrastruktur dan kendaraan yang mempunyai ketahanan baik dan akhirnya masalah biaya dari umur kendaraan,'' tegasnya.

Terlepas dari semua yang dijelaskan, kata Iman, sel bahan bakar sudah menjadi topik yang penting sehingga setiap industri otomotif yang besar tidak dapat mengabaikannya lagi. ''Tapi, ini masih membutuhkan waktu,'' ingatnya. Konsekuensinya, kata Iman, motor bakar torak masih akan menjadi bagian penting dari transportasi beberapa dekade ke depan. Walau ini terlihat seperti menjauhkan dari mimpi 'nir emisi', lanjut dia, tapi ini memperlihatkan bahwa perbaikan motor bakar torak saat ini adalah krusial untuk lingkungan dan bukan hanya solusi jangka pendek. ''Sama halnya dengan hibrida yang merupakan jembatan teknologi menuju sel bahan bakar,'' jaminnya.

Iman berpendapat, Indonesia akan mengalami kesulitan jika mencoba berkontribusi pada pilihan teknologi konsep motor dan konsep selain teknologi motor. ''Masalahnya, peran Indonesia pada teknologi industri otomotif hanya sebagai pengguna dan tidak memiliki potensi mengaplikasi teknologi tinggi,'' keluhnya.

Namun, pada pilihan bahan bakar alternatif terutama bahan bakar nabati, kata Iman, Indonesia mempunyai potensi dan kesempatan besar berperan dalam pengembangan, penelitian, penggunaan, dan produksi. Ia lantas menyebutkan potensi Indonesia sebagai negara nomor dua setelah Brasil dalam hal keanekragaman hayati darat dan nomor satu bila keanekaragaman hayati air diperhitungkan. ''Ini merupakan sumber energi nabati yang dapat diubah menjadi bahan bakar nabati,'' tegasnya.

eberapa penelitian melaporkan bahwa di masa depan budidaya tanaman energi diprediksi tidak dilakukan di darat. Karena, daratan akan digunakan untuk budidaya tanaman pangan dan sumberdaya air.

Hasil penelitian National Renewable Energy Laboratory, Amerika Serikat menunjukkan, minyak nabati yang diperoleh dari budidaya alga mikro di air 30 kali lebih banyak dibanding dengan minyak nabati yang diperoleh di darat. ''Jika itu benar terjadi, Indonesia berpotensi besar karena memiliki garis pantai terpanjang di dunia,'' tegas Iman.

Ikhtisar:
  • Bahan bakar nabati berhasil menarik perhatian, rasa ingin tahu, dan menggairahkan dibanding yang lain.
  • Konvergensi antara konsep motor bensin dan diesel juga menjadi pilihan yang memungkinkan.
(Sumber: Republika/eye/WB ) 

0 komentar:

Posting Komentar

 

XELAWE Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates